Rabu, 23 September 2015

Kebudayaan Jawa yang Terdapat Kontroversi






Nama               : Diah Ira Rahmawati
NIM                : 133511024
Mata Kuliah    : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI



Kebudayaan Jawa yang Terdapat Kontroversi dalam Perspektif Islam
Beberapa hal yang diperdebatkan dalam budaya Jawa sampai saat ini, yaitu:
a.    Sesajen
Ada beberapadaerah diJawa yang sebagian masyarakat Muslimnya masih mempertahankan kebiasaan atau ritual mistik seperti sesajen hingga sekarang. Ritual tersebut dilaksanakan untuk menolak bala dan ketika memperoleh rizki seperti panen yang melimpah dan ini dilakukan dengan beramai-ramai atau berjemaah. Mereka membawa tumpeng kemudian berbagai hasil panen mereka dengan jumlah yang besar, diarak beramai-ramai ada yang di hanyutkan ke laut, seperti laut kidul, ada juga yang di letakkan di atas gunung. Mereka mengatakan jika ritual itu tidak dilaksanakan maka panen mereka akan gagal, dan daerah mereka akan dilanda bencana.
Perspektif Islam Puritan:
Bahwa pada hakekatnya melakukan sesajen sebagai penghormatan kepada roh-roh itu, meminta-minta keselamatan padanya menurut perspektif Islam termasuk suatu kegiatan yang menyekutukan Allah SWT. Maka menyekutukan Allah SWT dalam tinjauan Islam termasuk dosa besar.
Budaya sesajen termasuk tindakan baru di dalam adat Islami, menyimpang dari Sunnah Nabi Muhammad SAW, oleh sebab itu amalnya ditolak.Pemeliharaan budaya sesajen itu merusak ketauhidan kepada Allah SWT menurut perspektif Islam. Karena itu, dengan tegas Islam menolak.
Perspektif Islam Sinkretis:
Islam tidak melarang adanya budaya dan adat istiadat pada umatnya asalkan tidak menyimapang dari ajaran-Nya.
Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Timur Tengah, yang menerapkan penggunaan gamis ataupun cadar. Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam theologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat istiadat tanah air. Pada zaman Walisongo, perpaduan tradisi lokal dengan ajaran Islam mulai dikembangkan, salah satunya adalah tradisi sesajen. Sesajenditransformasikan menjadi tradisi selametan. Bila sesajen awalnya diniatkan mempersembahkan makanan kepada roh-roh ghaib, namun dalam tradisi selametan, makanan justru diberikan kepada seluruh umat Islam untuk kemudian diminta mendo’akan pihak yang mengadakan selametan, agar selamat dunia akhirat. Cara pendekatan ini, disebut khazanah Islam Nusantara.
b.    Nyadran
Nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Budha lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15.Dalam tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa dan mantra adalah merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang. Acara ritual dilaksanakan pada hari terakhir perayaan pesta laut. Masyarakat bersama-sama menuju ke laut untuk melaksanakan acara ritual tahunan itu. Sebagian besar dari mereka adalah para nelayan.
Kontroversi antara Islam Sinkretis dan Islam Puritan:
Akar dari kontroversi itu sebenarnya berawal dari campurnya unsur Animisme, Hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara yang digelar selama seminggu untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis (NU) mendukung.
Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Acara-acara yang seringkali digelar hingga larut malam pun mengundang tanggapan negatif, sebab mereka dianggap memancing kegiatan asusila (seks bebas dan mabuk-mabukan), kriminalitas (pencopetan dan pencurian), dan kekerasan (perkelahian atau tawuran).
Para pemuda Muhammadiyah khususnya memperdebatkan pesta laut itu. Bahkan pernah beberapa kali terlontar himbauan supaya tradisi nyadran dihapuskan. Akan tetapi, para nelayan khususnya tidak menghiraukan larangan yang sifatnya internal itu. Bagi mereka, upacara nyadran merupakan bentuk kebudayaan warisan nenek moyang. Para nelayan menganggap acara nyadran merupakan ritual wajib yang harus dilakukan. Kalangan nelayan meyakininya karena bagi mereka, ada alasan dan tujuan tertentu yang bernuasa spiritual seperti ritual-ritual keagamaan lain.
  Pesta laut memberi kemafaatan secara materi maupun rohani. Dengan digelar upacara nyadran, para pedagang mendapatkan rejeki dan penikmat seni pertunjukan memperoleh hiburan yang ditawarkan dari festival-festival yang dilakukan selama seminggu sebelum inti ritual nyadran dilaksanakan. Namun pihak yang menentang menyatakan bahwa dampak buruk yang ditimbulkan adalah lebih besar dari kemanfaatannya.
Karena kontroversi itu terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan sehari-hari antara para nelayan dan sebagian kalangan yang tidak menyukai acara tersebut. Jika kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) tegas menolak tradisi itu, lain halnya dengan kalangan muslim tradisionalis (NU). NU tidak melarang nyadran, karenamenurut NU tradisi warisan leluhur ini merupakan tanda syukur terhadap Tuhan gaya nelayan. Rasa syukur boleh diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram, maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa.
c.    Tahlilan
Membicarakan tahlil sama saja membicarakan ketidaksepahaman antara orang NU dan orang-orang yang tidak setuju dengan acara tahlilan. Ada sebagian orang menganggap acara tahlilan itu sesat dan bahkan haram menurut mereka. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri menurut apa yang mereka pelajari dan mereka pahami dalam persoalan agama dan tradisi. Tanpa dalil tentu mereka tidak akan berani mengharamkan bahkan mengkafirkan pelakunya (Nahdliyyin) sebagai subjek dari acara tahlilan itu.
Kelompok yang anti tahlil kerap menuduh tahlil sebagai bid’ah karena sebagai warisan tradisi agama pra-Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai dengan tradisi agama lain. Seperti halnya acara maulid Nabi Muhammad SAW yang dianggap menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, misalnya Natal.
Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pra-Islam. Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. Dari sini, kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini.

SARAN - SARAN
  • Sebagai seorang Muslim yang bertauhid kepada Allah SWT sudah seharusnya kita harus memilih budaya yang mana patut dipertahankan dan yang patut untuk ditinggalkan, agar kita tidak termasuk orang yang menyimapang dari ajaran-Nya. 
  •  Apapun  masalah, urusan, keperluan, kesenangan, baik itu adat-istiadat atau yang lainnya, pertama kalinya bepegang teguhlah kepada agama, dahulukan agama, dalam hal ini islam sebagai agama kita Allah sebagai Tuhan kita (Tuhan yang sesungguhnya) Muhammad sebagai Rasul-Nya. Apapun yang  menyangkut dengan segala urusan didunia ini telah dijelaskan oleh Allah SWT melalui kitab dan Rasul-Nya. 
  • Berpegang teguhlah kepada agama kemudian barulah adat istiadat kita, karena belum tentu adat-istiadat kita semuanya sejalan dengan agama. Karena tujuan hidup kita didunia adalah untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat.

Resensi



Nama                     : Diah Ira Rahmawati
NIM                       : 133511024
Mata Kuliah           : Islam dan Budaya Jawa (PM-5 A)
Dosen Pengampu   : M. Rikza Chamami, M.SI

Resensi Buku  “Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual”
Identitas Buku
Judul Buku          : Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual
Pengarang           :
M. Rikza Chamami
Penerbit               : Pustaka Zaman
Tahun Terbit        : Juli 2015
Kota Terbit          : Semarang
Ketebalan  Buku : 112 halaman




Tentang Penulis
M. Rikza Chamami, M.SI lahir di Desa Krandon, Kabupaten Kudus Jawa Tengah pada 20 Maret 1980 dari pasangan Chamami Tolchah dan Masfiyah Masruhan. Beliau menempuh pendidikan formal dan non-formal hingga beliau tamat MA di Kudus yakni di MA Qudsiyyah, kemudian menempuh Program S.1 di IAIN Walisongo Jurusan Kependidikan Islam, S.2 Program Studi Pendidikan Islam di IAIN Walisongo, dan S.3 Program Doktor Islamic Studies di UIN Walisongo dengan prestasi yang sangat membanggakan (cumlaude).
Karir beliau saat ini aktif sebagai Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo dan Sekretaris Laboratorium Pendidikan FITK. Beliau disebut sebagai aktifis tulen yang prinsip hidupnya selalu memadukan ilmu dan sosial. Kegiatan ilmiah dalam bentuk karya tulis selalu aktif dilakukan. Buku ilmiah yang dihasilkan antara lain: Demi IPNU (Aneka Ilmu Semarang, 2003), Mengendalikan “Syahwat Politik” Kiai NU (Aneka Ilmu Semarang, 2004), Revolusi Mental Pemikiran Islam (Pustaka Zaman, 2014), Pengantar Studi Islam Barbasis Unity of Sciences (Walisongo Press, 2015), dan buku Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual adalah buku ke-11 yang beliau tulis. Selain menulis, beliau juga aktif dalam kegiatan akademik berupa diklat dan workshop.
Sinopsis Buku
Buku ini berjudul “Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual” merupakan buku ilmiah yang bernafaskan Islami yang dapat dijadikan sumber bacaan bagi masyarakat umum dan kaum Intelektual Muslim pada khususnya. Dalam buku ini disertakan pandangan Ulama’ Muslim dalam menyikapi beberapa problema yang melibatkan keagamaan di Nusantara. Pada buku ini, materi dimuat ke dalam lima Bab meliputi: Bab I Pendahuluan, Bab II membahas karakter Islam Nusantara, Bab III membahas tentang agama sosial yang berkebudayaan, Bab IV tentang Islam Nusantara cinta damai dan Bab V berisikan penutup.
Di Bab Pendahuluan, penulis memberikan gambaran umum mengenai Islam dan pentingnya melestarikan ajaran Islam yang hakiki. Kemudian pada Bab II dibahas tentang karakter Islam Nusantara yang diartikan sebagai Islam faktual berciri khas Indonesia yang berbeda secara teknis dengan Islam khas Arab, China, Turki, dan lain sebagainya, namun substansi ideologi agamanya sama yakni tauhid dan mengakui bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. Islam Nusantara murni sebagai gerakan dan pemikiran yang merespon kendurnya Islam indonesia dengan segala inisiasi untuk mempertahankan nasionalisme.
Inti dari gerakan Islam Nusantara yakni: Pertama, mendudukkan identitas bahwa Islam adalah sebuah keyakinan suci yang bisa diterima hingga Indonesia. Kedua, Islam yang sampai ke Indonesia melewati sejarah panjang termasuk akulturasi budaya. Ketiga, nilai kearifan lokal Islam Nusantara tidak tercerabut dari substansi syari’at Islam. Dan Keempat, Islam sebagai agama juga menjadi tuntunan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga Islam Nusantara bukan sebagai gerakan desakralisasi agama. Bahwa Islam Nusantara bukan ideologi baru melainkan suatu pemikiran yang masih selalu berkembang dalam merespon keberislaman. Sedangkan pembacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa pada intinya adalah untuk membumikan al-Qur’an dengan pendekatan budaya Nusantara. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan pula kepedulian masyarakat Indonesia tentang pengamalan dalam membaca al-Qur’an termasuk tajwidnya.
Bab III memabahas tentang agama sosial yang berkebudayaan, yakni ketika agama itu disandingkan dengan budaya, maka ada pemahaman yang lebih luas. Bahwa agama adalah urusan individu per individu sedangkan kumpulan dari orang yang seagama itu menjadi budaya. Sehingga perlu adanya kerukunan umat beragama. Penulis juga menguraikan tentang pesantren yang berwawasan kebangsaan, kesantunan berbahasa dalam politik, sepaham untuk memusuhi radikalisme dan tetap mencintai Islam, serta menguraikan masalah radikalisme pendidikan agama.
Pada Bab IV yakni Islam Nusantara yang cinta damai, disebutkan bahwa Islam mengenal adanya ikhtilaf al-madzahib yang artinya Islam sejak awal menyadari tentang adanya perbedaan. Banyak pihak yang berharap terwujudnya Indonesia yang harmonis dan berdikari melalui Islam Nusantara tersebut. Dalam Islam, dikenal adanya pengembangan-pengembangan berbasis nilai lokal yang tetap terintegrasi dengan syariat sebagaimana adanya akulturasi budaya di Jawa. Penulis mengungkapkan pula tentang ‘Pribumisasi Islam’ yang berusaha mempertemukan pemahaman antara agama dan budaya. Bahwa agama dan budaya keduanya memiliki nilai-nilai luhur yang mengajarkan kebaikan, patuh kepada Tuhan serta rukun bersama masyarakat.
Islam Nusantara juga menjadi refleksi keilmuan dimana ia memadukan antara Islam konseptual, Islam faktual dan slam sosial. Sehingga dalam paham ini, seseorang tidak lagi fanatik dan anti budaya. Dibahas pula tentang kejujuran yang sejak awal diterapkan dalam konsep Islam. Dalam akhir bahasan buku ini, terdapat paparan mengenai kualitas keilmuan santri yang mana penulis menyuguhkan pengetahuan tentang keilmuan di pondok pesantren, program pendidikan yang diterapkan di sana dan lain sebagainya.
Pada Bab V sebagai penutup, penulis memberikan tanggapan mengenai kesimpulan umum diskusi Islam Nusantara.
Keunggulan
Buku ini memiliki beberapa keunggulan yang disajikan, dibandingkan dengan buku lain yakni memuat materi yang sarat akan konsep dan ulasan yang mudah dipahami. Buku ini menyajikan wawasan keagamaan yang berdasarkan realita dan kondisi aktual yang terjadi. Selain itu, buku ini meneyertakan banyak sekali pandangan serta perspektif para ulama’ negeri dalam memahami apa itu Islam Nusantara, bagaimana interelasi budaya yang perlu diwujudkan, serta nilai-nilai luhur yang penulis ungkap dari berbagai sisi keagamaan dan tradisi lokal yang ada. Penulis juga menyampaikan pesan-pesan moral dalam setiap sub bahasan buku ini. Sehingga pembaca akan memperoleh wawasan sekaligus tuntunan selama membacanya.


Kelemahan
Pada buku ini, di samping memiliki keunggulan, namun juga terdapat kekurangan di dalamnya, yakni tidak disajikan gambar atau ilustrasi dalam buku ini, sehingga dapat menimbulkan kurangnya minat para calon pembaca dalam mengkaji buku ini. Bagi pembaca non Jawa mungkin akan mengalami sedikit kesulitan dalam menafsirkan beberapa kosa kata Jawa. Alangkah lebih baik jika di bawah teks diberi keterangan arti makna, sehingga tidak mengurangi pesan penulis secara langsung.
Kesimpulan
Sebagai Peresensi, berdasarkan dari keunggulan dan kelemahan buku ini, menilai bahwa buku Islam Nusantara Dialog Tradisi dan Agama Faktual
baik untuk dipublikasikan karena tidak lain buku ini diterbitkan bertujuan agar menjadi renungan bagi para pembacanya, bahwa Islam Nusantara itu perlu dimaknai sebagai rangkaian memahami Islam faktual, Islam yang benar adanya dan berkembang tanpa pernah berhenti.

Peresensi : Diah Ira Rahmawati